Jumat, 18 Oktober 2013

ANALGETIK - ANTIPIRETIK



Analgetik adalah adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
Antipiretik adalah obat yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi.
Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala, fungsinya memberi tanda tentang adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan rangsang mekanis atau kimiawi, kalor atau listrik, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat yan disebut mediator nyeri (pengantara). Zat ini merangsang reseptor nyeri yang letaknya pada ujung syaraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan lain. Dari tempat ini rangang dialaihkan melalui syaraf sensoris ke susunan syaraf pusat (SSP), melalui sumsum tulang belakang ke talamus (optikus) kemudian ke pusat nyeri dalam otak besar, dimana rangsang terasa sebagai nyeri.
Cara Pemberantasan Rasa Nyeri:
Ø  Menghalangi pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri perifer oleh analgetik, perifer atau oleh anestetik lokal.
Ø  Menghalangi penyaluran rangsang nyeri dalam syaraf sensoris, misalnya dengan anestetik local.
Ø  Menghalangi pusat nyeri dalam SSP dengan analgesik sentral (narkotik) atau dengan anestetik umum.
Umumnya cara kerja analgetik-antipiretik adalah dengan menghambat sintesa neurotransmitter tertentu yang dapat menimbulkan rasa nyeri & demam. Dengan blokade sintesa neurotransmitter tersebut, maka otak tidak lagi mendapatkan "sinyal" nyeri,sehingga rasa nyerinya berangsur-angsur menghilang.
Penggunaan Analgetik-Antipiretik dalam Kehamilan :
Penggunaan obat Analgetik-Antipiretik pada saat mengandung bagi ibu hamil harus diperhatikan. Ibu hamil yang mengkonsumsi obat secara sembarangan dapat menyebabkan cacat pada janin. Sebagian obat yang diminum oleh ibu hamil dapat menembus plasenta sampai masuk ke dalam sirkulasi janin, sehingga kadarnya dalam sirkulasi bayi hampir sama dengan kadar dalam darah ibu yang dalam beberapa situasi akan membahayakan bayi.
Pengaruh buruk obat terhadap janin, secara umum dapat bersifat toksik, teratogenik, maupun letal tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan pada saat minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang diminum selama masa kehamilan menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau bio-kimiawi dari janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah kelahiran. Pengaruh obat bersifat teratogenik, jika menyebabkan terjadinya malformasi anatomic (kelainan/kekurangan organ tubuh) pada pertumbuhan organ janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifat letal adalah yang mengakibatkan kematian janin dalam kandungan.
Secara umum pengaruh obat pada janin dapat beragam sesuai dengan fase-fase berikut:
a.    Fase Implantasi yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu.Pada fase ini obat dapat member pengaruh buruk atau mingkin tidak sama sekali.Jika terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya kehamilan (abortus).
b.    Fase Embrional atau Organogenesis,yaitu pada umur kehamilan antara 4-8 minggu.Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk pembentukan organ-organ tubuh, sehingga merupakan fase yang paling peka untuk terjadinya malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Selama embriogenesis kerusakan bergantung pada saat kerusakan terjadi, karena selama waktu itu organ-organ dibentuk dan blastula mengalami deferensiasi pada waktu yang berbeda-beda. Jika blastula yang dipengaruhi masih belum berdeferensiasi dan kerusakan tidak letal maka terdapat kemungkinan untuk restitutio ad integrum. Sebaliknya jika bahan yang merugikan mencapai blastula yang sedang dalam fase deferensiasi maka terjadi cacat (pembentukan salah)
Berbagai pengaruh buruk yang terjadi pada fase ini antara lain:
ü  Gangguan fungsional atau metabolic yang permanen yang biasanya baru muncul kemudian jadi tidak timbul secara langsung pada saat kehamilan
ü  Pengaruh letal berupa kematian janin atau terjadinya abortus
ü   Pengaruh sub-letal,tidak terjadi kematian janin tetapi terjadi malformasi anatomik (struktur) pertumbuhan organ atau pengaruh teratogenik. Kata teratogenik sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti monster.
c.    Fase Fetal yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan.Dalam fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin.Pengaruh buruk senyawa asing bagi janin dalam fase ini dapat berupa gangguan pertumbuhan baik terhadap fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi organ-organ.
Keluhan nyeri selama masa kehamilan umum di jumpai. Hal ini berkaitan dengan masalah fisiologis dari si ibu karena adanya karena adanya tarikan otot-otot dan sendi karena kehamilan maupun sebab-sebab yang lain.Untuk nyeri yang tidak berkaitan dengan proses radang,pemberian obat pengurang nyeri biasanya dilakukan dalam jangka waktu relatife pendek.Untuk nyeri yang berkaitan dengan proses radang,umunya diperlukan pengobatan dalam waktu tertentu. Penilaian yang seksama terhadap pereda nyeri perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan jenis obat yang paling tepat.
Pemakaian NSAID(Non steroid anti infamantory Drug ) sebaiknya dihindari pada TM III. Obat-obat tersebut menghambat sintesis prostaglandin dan ketika diberikan pada wanita hamil dapat menyebabkan penutupan ductus arteriousus, gangguan pembentukan ginjal janin, menghambat agregasi trombosit dan tertundanya persalinan dan kelahiran. Pengobatan NSAID selama trimester akhir kehamilan diberikan sesuai dengan indikasi. Selama beberapa hari sebelum hari perkiraan lahir, obat-obat ini sebaiknya dihindari. Yang termasuk golongan ini adalah diklofenac, diffunisal, ibuprofen, indomethasin, ketoprofen, ketorolac, asam mefenamat, nabumeton, naproxen, phenylbutazon, piroksikam, sodium salisilat, sulindac, tenoksikam, asam tioprofenic mempunyai mekanisme lazim untuk menghambat sintesa prostaglandin yang terlibat dalam induksi proses melahirkan, NSAID dapat memperpanjang masakehamilan.
Berikut contoh obat-obat analgesik antipiretik yang beredar di Indonesia:

1. Paracetamol
Paracetamol merupakan analgesik-antipiretik dan anti-inflamasi non-steroid (AINS) yang memiliki efek analgetik (menghilangkan rasa nyeri), antipiretik (menurunkan demam), dan anti-inflamasi (mengurangi proses peradangan).
Paracetamol paling aman jika diberikan selama kehamilan. Parasetamol dalam dosis tinggi dan jangka waktu pemberian yang lama bisa menyebabkan toksisitas atau keracunan pada ginjal. sehingga dikategorikan sebagai analgetik-antipiretik. Golongan analgetik-antipiretik adalah golongan analgetik ringan.Parasetamol merupakan contoh obat dalam golongan ini.
Beberapa macam merk dagang, contohnya Parasetamol (obat penurun panas atau penghilang nyeri) bisa diperdagangkan dengan merk Bodrex, Panadol, Paramex
2. Antalgin
Antalgin adalah salah satu obat penghilang rasa sakit (analgetik) turunan NSAID, atau Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs. Antalgin lebih banyak bersifat analgetik. Pemakaiannya dihindari saat hamil TM I dan 6 minggu terakhir.
Analgesik dibagi menjadi dua, yaitu analgesik narkotik dan analgesik non narkotik.
1.    Analgesik Narkotik
Khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti fraktur dan kanker. Nyeri pada kanker umumnya diobati menurut suatu skema bertingkat empat, yaitu : obat perifer (non Opioid) peroral atau rectal; parasetamol, asetosal, obat perifer bersama kodein atau tramadol, obat sentral (Opioid) peroral atau rectal, obat Opioid parenteral. Guna memperkuat analgetik dapat dikombinasikan dengan co-analgetikum, seperti psikofarmaka (amitriptilin, levopromazin atau prednisone).
Zat-zat ini memiliki daya menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan tingkat kerja yang terletak di Sistem Saraf Pusat. Umumnya mengurangi kesadaran (sifat meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Dapat mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi) serta ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan gejala-gejala abstinensia bila pengobatan dihentikan.
Semua analgetik narkotik dapat mengurangi nyeri yang hebat, teteapi potensi. Onzer, dan efek samping yang paling sering adalah mual, muntah, konstipasi, dan mengantuk. Dosis yang besar dapat menyebabkan hipotansi serta depresi pernafasan.
Morfin dan petidin merupakan analgetik narkotik yang paling banyak dipakai untuk nyeri walaupun menimbulkan mual dan muntah. Obat ini di Indonesia tersedia dalam bentuk injeksi dan masih merupakan standar yang digunakan sebagai pembanding bagi analgetik narkotika lainnya. Selain menghilangkan nyeri, morfin dapat menimbulkan euphoria dan ganguan mental.
Berikut adalah contoh analgetik narkotik yang samapi sekarang masih digunakan di Indonesia :
-       Morfin HCL,
-       Kodein (tunggal atau kombinasi dengan parasetamol),
-       Fentanil HCL,
-       Petinidin, dan
-       Tramadol.
Khusus untuk tramadol secara kimiawi memeng tergolong narkotika tetapi menurut undang-undang tidak sebagai narkotik, karena kemungkinan menimbulkan ketergantungan.
2.    Analgesik Non – Narkotik
Terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Obat- obat inidinamakan juga analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi Sistem Saraf Pusat, tidak menurunkan kesadaran atau mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika perifer juga memiliki kerja antipiretik, yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka disebut juga analgetik antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya terhadap pusat pengatur kalor di hipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat.
Efek analgetik timbul karena mempengaruhi baik hipotalamus atau di tempat cedera. Respon terhadap cedera umumnya berupa inflamasi, udem, serta pelepasan zat aktif seperti brandikinin, PG, dan histamine. PG dan brankinin menstimulasi ujung staraf perifer dengan membawa implus nyeri ke SSP. AINS dapat menghambat sintesis PG dan brankinin sehingga menghambat terjadinya perangsangan reseptor nyeri. Obat-obat yang banyak digunakan sebagai analgetik dan antipiretik adalah golongan salisilat dan asetaminofen (parasetamol). Aspirin adalah penghambat sintesis PG paling efektif dari golongan salisilat.
1.    Salisilat
Salisilat merupakan protipe AINS yang sampai sekarang masih digunakan. Termasuk salisilat adalah Na-salisilat, aspirin (asam asetil salisilat), salisid, dan meril salisilat bersifat toksik jika tertelan oleh Karen itu, hanya dipakai topical untuk menghangatkan kulit dan antigatal ( antpruritus). Golongan salisilat dapat mengiritasi lapisan mukosa lambung. Organ yang peka pada efek ini akan mengalami mual setelah minum aspirin. Dalam lambung . PG berperan serta dalam mekanisme perlindungan mukosa dari asam lambung atau gantrin. PG berfungsi meningkatkan daya tahan membrane mukosa lambung.
Aspirin selain berefek analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi, daalam dosis kecil juga berfungsi sebagai antitrombosis (antiplatelet). Pada dosis kecil, aspirin dapat menghambat agreasi trombosit (antikoagulan) mencegah terbentuknya thrombus pada penderita infark jantung sehingga ddapat mengurangi timbulnya stroke.
3.    Adapun contoh analgesik lain antara lain :
Acethaminophen adalah salah satu obat yang paling penting untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang bilaman efek antiinflamasi tidak diperlukan. Phenacetin, sebuah produk yang dimetabolisme menjadi acetaminophen, lebih toksik daripada metebolit aktifnya dan tidak mempunyai indikasi rasional.
a.    Acetaminophen
          Acetaminophen adalah metabolit aktif dari phenacetin yang bertanggung jawab akan efek analgesiknya. Ia adalah penghambat prostaglandin lemah dalam jaringan perifer dan tidak memiliki efek inflamasi yang signifikan.
Farmakokinetik:
Acetaminophen di berikan secara oral. Penyerapan dihubungkan dengan tingkat pengosongan perut, dan konsentrasi daerah puncak biasanya tercapai dalam 30 – 60 menit. Acetaminophen sedikit terikat pada protein plasma dan sebagian di metabolism oleh enzim mikrosomal hati dan di ubah menjadi sulfat dan glukoronida acetaminophen, yang secara farmakologis tidak aktif. Kurang Dari 5 % di ekskresikan dalam keadaan tidak berubah. Metabolit minor tetapi sangat aktif adalah penting dalam dosis besar karena efek toksiknya terhadap hati dan ginjal. Waktu paruh acetaminophen adalah 2 – 3 jam dan relative tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal.
Indikasi:
Sekalipun ekuifalen dengan aspirin sebagai agen analgesik dan antipiretik yang efektif, acetaminophen berbeda karena sifat antiinflamasinya lemah. Ia tidak mempengaruhi kadar asam urat dan sifat penghambatan platelatnya lemah. Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti sakit kepala, mialgia, nyeri pada pascapersalinan dan keadaan lain dimana aspirin efektif sebagai analgesik. Aceteminophen saja adalah terapi yang tidak adekuat untuk inflamasi seperti atritis rheumatoid, sekalipun ia dapat di pakai sebagai tambahan analgesik terhadap terapi anti inflamasi. Untuk analgesik ringan acetaminophen adalah obat yang lebih disukai pada pasien yang alergi terhadap aspirin atau bilaman salicylate tidak bisa di toleransi.
Efek – Efek Yang Tidak Diinginkan:
Dalam dosisi terapeutik, sedikit peningkatan enzim – enzim hati kadang – kadang bisa terjadi tanpa adanya ada ikterus : obat ini reversible bila obat dihentikan. Denga dosis yang lebih besar, pusing – pusing, ketegangan, dan disorentasi bisa terlihat. Menelan 15 g acethaminophen bisa fatal, kematian disebabkan oleh hepatotoksisitas yang hebat dengan nekrosis lobules sentral, kadang – kadang dikaitkan dengan nikrosis tubulus ginjal akut.
Dosis :
Nyeri akut dan demam bisa di atasi dengan 325 – 500 mg empat kali sehari dan secara proporsional di kurangi untuk anak-anak. Keadaan tunak (steady state) dicapai dalam sehari.
b.   Phenacetin
Phenacetin tidak lagi dipakai di Amerika Serikat dan telah di tarik dari berbagai kombinasi analgesik bebas (OTC) seperti Anacin dan Empirin Compound. Akan tetapi phenacetin masih ada dalam sejumlah analgesik di Amerika Serikat dan masih banyak di pakai di Negara lain. Kaitan antara pemakaian berlebih dari kombinasi analgesik – terutama yang mengandung phenacetin – dan perkembangan kegagalan ginjal telah di ketahui selama hampir 30 tahun. Perkiraan presentase pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir yang merupakan akibat dari pemakaian analgesik yang salah adalah 5 % hingga 15%. Setelah larangan pemakaian phenacetin dalam analgesik di Finlandia, Skotlandia, danCanada, Jumlah kasus baru dari nefropati analgesik di Negara-negara tersebut berkurang secara signifikan.
2.2  ANTI-INFLAMASI
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk mengaktifasi atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap, proses peradangan biasanya reda. Namun kadang-kadang inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zatyang tidak berbahayaseperti tepung sari, atau oleh suatu respon imun, seperti asma atau artritisrematid.
Penggolongan Antiinflamasi :
Obat anti inflamasi dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu:
1.    Glukokortikoid (Golongan Steroidal) yaitu anti inflamasi steroid. Anti Inflamsi steroid memiliki efek pada konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer serta penghambatan aktivitas fosfolipase. contohnya gologan Prednisolon
2.    NSAIDs (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) juga dikenal dengan AINS (Anti Inflamasi Non Steroid) NSAIDs bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase tetapi tidak enzim lipoksigenase. Contoh Obat AntiInflasmasi golongan NSAIDs adalah Turunan Asam Propionat (Ibuprofen, Naproxen), Turunan Asam Asetat (Indomethacin), Turunan Asam Enolat (Piroxicam).
Obat AntiInflamasi pada umumnya bekerja pada enzim yang membantu terjadinya inflamasi, Namun Pada umumnya Obat Antiinflamasi bekerja pada enzim Siklooksigenase (COX) baik COX1 maupun COX2
 Mekanisme Kerja  
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi   PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan selektivitas yang berbeda. Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan ekspresinya bersifat unik. Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, salurancerna dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Siklooksigenase-2 semula diduga diinduksi berbagai stimulusinflamatoar, termasuk sitokin, endotoksin dan faktor pertumbuhan (growth factors).
            Ternyata COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskulardan pada proses perbaikan jaringan. Aspirin 166 kali lebih kuat menghambat COX-1 dari pada COX-2. Penghambat COX-2 dikembangkan dalam mencari penghambat COX untuk pengobatan inflamasi dan nyeri yang kurang menyebabkan toksisitas saluran cerna dan pendarahan. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi pada lingkungan yang rendah kadar peroksid yaitu di hipotalamus. Parasetamol diduga menghambat isoenzim COX-3,suatu variant dari COX-1. COX-3 ini hanya terdapat di otak. Aspirin sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus aktiv serin dari COX-1, trombosit sangat rentan terhadap enzim karena trombosit tidak mampu mensintesis enzim baru. Dosis tunggal aspirin 40 mg sehari cukup untuk menghambat siklooksigenase trombosit manusia selama masa hidup trombosit, yaitu 8-11 hari. Ini berarti bahwa pembentukan trombosit kira-kira 10% sehari. Untuk fungsi pembekuan darah aktivitas siklooksigenase  mencukupi sehingga pembekuan darah tetap dapat berlangsung. Semua obat mirip-aspirin bersifat antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi.  Ada perbedaan aktivitas di antara obat-obat tersebut, misalnya parasetamol (asetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat antiinflamasinya lemah sekali. Sebagai antipiretik, obat mirip-aspirin akan menurunkan suhu badan dalam keadaan demam.
Walaupun kebanyakan obat ini memperlihatkan efek antipiretik ,tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena sifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama. Ini berkaitan dengan hipotesis bahwa COX yang ada di sentral otak terutamaCOX-3 dimana hanya parasetamol dan beberapa obat AINS lainnya dapat menghambat. Fenilbutazon dan antireumatik lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai antipiretik atas alasan tersebut menghambat enzim siklooksigenase (COX 2), dapat memproduksi leukotrien, sehingga produksi prostaglandin turun, jumlah prostaglandin turun sehingga set point mengatur suhu tubuh. Obat: paracetamol, peroksikam, fenilbutazon, diklofenak, ibuprofen(neoremasil), metamizol (antalgin), asetosal (aspirin), indometasin, dan naproxen.
2.3 Daftar Interaksi Obat
No
Nama Obat A
Nama Obat B
Interaksi Obat
Efek
Ket
1
Alfentanil
(Alfenta®)
Erythromycin
erythromycin, fluconazole and troleandomycin  menghambat cytochrome P450 isoenzyme CYP3A3/4 di hati yang berfungsi memetabolisme alfentanil.
Alfentanil dapat segera di eliminasi dari dalam tubuh
Sinergis
2

Troleandomycin
3

Fluconazole
4

H2-blockers
Cimetidine tapi bukan ranitidine meningkatkan kadar  alfentanil dalam darah.
Kadar alfentanil meningkat
Aditif
3
Aspirin or Salicylates
Caffeine
Caffeine meningkatkan absorbs aspirin dalam darah
Kadar aspirin meningkat
Aditif
5

Tamarindus indica fruit extract
Tamarindus indica fruit extract  meningkatkan absorbs aspirin sehingga kadar didalam darah meningkat
Kadar aspirin meningkat
Aditif
6
Dextromoramide
Troleandomycin
Meningkatnya efek dextromoramide dan koma pada laki-laki dapat diatasi dengan troleandomycin.
Efek farmakologis meningkat
Aditif
7
Fentanyl
Baclofen
Efek fentanyl meningkat dengan adanya baclofen
efek farmakologis meningkat
Aditif
8

Cimetidine
Efek fentanyl meningkat dengan adanya cimetidine
efek farmakologis meningkat
Aditif
9
Lornoxicam
H2-blockers
Cimetidine, tapi bukan ranitidine, dalam kadar yang kecil dapat meningkatkan kadar  lornoxicam
Kadar meningkat
Aditif
10

glibenclamide
Lornoxicam meningkatkan efek glibenklamid
Efek farmakologi meningkat
Aditif
11

 Cimetidine
Kadar cimetidine meningkat
Kadar cimetidine meningkat
Aditif
13
Methadone
 Ciprofloxacin
Lonorxicam menghambat metabolism ciprofloxacin
Kadar ciprofloxacin meningkat
Aditif
15

Fluconazole
Fluconazole meningkatkan level methadone.
Kadar methadone meningkat
Aditif
16

Selective serotonin re-uptake inhibitors (SSRIs)
Methadone  meningkatkan efek samping dari fluvoxamine
Efek farmakologis fluvoxamine meningkat
Aditif
17
Dexamfetamine (Dextroamphetamine) or Methylphenidate
Dua kombinasi obat dapat meningkatkan efek analgesic dan menurunkan efek samping
Efek farmakologis meningkat
Sinergis
18

Fluoxetine
Fluoxetine dapat meningkatkan efek analgesic dan menurunkan efek samping dari morfin
Efek farmakologis meningkat
Sinergis
19

Food
Makanan dapat meningkatkan efek morfin yang digunakan oral dan penyampaian dalam darah
Efek farmakologis meningkat
Aditif
20

Metoclopramide
Metoclopramide meningkatkan tingkat absorbs morfin-oral dan kadar didalam darah
Efek farmakologis meningkat
Aditif
21

Secobarbital (Quinalbarbitone)
meningkatkan efek depresan respiratory
Efek farmakologis meningkat
Aditif
22

Tricyclic antidepressants
Bioavaibilitas analgetik meningkat
Kadar analgetik meningkat
Aditif





Tidak ada komentar:

Posting Komentar